Jakarta, Edarinfo.com— Berbagai macam keadaan yang terjadi menyangkut rezeki, oleh sebab itu marilah kita simak do’a Syekh Abu Abbas al-Mursi, “Ya Allah, tundukkan urusan rezeki ini untukku, jagalah aku dari keranjingan dan kepayahan dalam mencari rezeki. Juga lindungilah aku dari kesibukan hati memikirkan rezeki dan kecemasan hati padanya, dari menghinakan diri kepada makhluk demi rezeki, dari berpikir dan mengatur dalam menghasilkannya, dan dari kekikiran dan kebakhilan setelah memperolehnya.”
Dalam hal urusan rezeki ini hati manusia terbagi menjadi tiga kondisi :
Pertama, kondisi sebelum Allah SWT memberi rezeki. Kondisi ini menjadikan seseorang keranjingan dan susah payah mencari rezeki. Hati yang sibuk dengan urusan rezeki, hasrat yang bergantung kepadanya dan rela merendahkan diri di hadapan makhluk karena rezeki. Tergila-gila dalam mengejar rezeki ini menjadikan seseorang melupakan dan meninggalkan kewajibannya pada keyakinan serta kadang memperolok agamanya sendiri ( sadar maupun tidak ).
Keadaan ini timbul dari hilangnya kepercayaan dan lemahnya keyakinan. Kepercayaan dan keyakinan hilang disebabkan karena hilangnya cahaya petunjuk dari-Nya. Hal ini karena antara seseorang ada tabir penghalang dengan Tuhannya. Kesibukan hati memikirkan rezeki dan kecemasan hati menyangkut rezeki, keduanya merupakan penghalang yang besar. Maka hasrat akan terpaku pada urusan rezeki, sehingga tidak ada ruang lagi untuk yang lain. Inilah yang menjadi kekhawatiran sehingga melupakan hak Allah SWT atas hambanya. Ingatlah bahwa rezeki sudah di jamin oleh-Nya.
Perkataan Syekh tentang “menghinakan diri kepada makhluk demi rezeki” ini terjadi karena lemahnya iman hingga bersandar pada sesama makhluk. Seseorang yang telah melakukan kesalahan dan diketahui oleh pihak lainnya, maka ia akan taat dan patuh ( bergantung/bersandar ) pada orang tersebut demi kelangsungan rezeki dan kenikmatan hidupnya. Tontonan seperti ini banyak kita saksikan menjelang pesta demokrasi, ada istilah saling mengunci atau orang itu telah terkunci. Mengemis untuk suatu jabatan, untuk keselamatan agar tidak diusik kasus pidananya, semua itu tindakan merendahkan martabat diri kepada sesama makhluk, dimana perbuatan ini tidak disukai Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Thaha ayat 127 yang artinya, “Sungguh, azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal.”
Kedua, Kondisi setelah rezeki itu didapat. Allah SWT telah memberikan anugerah berupa kekayaan yang berlimpah. Tahukah bahwa kekayaan, jabatan dan kenikmatan hidup itu merupakan pemberian-Nya dan menjadikan pendidikan / pelajaran bagi yang menerima. Adakalanya seseorang berusaha dengan keras, namun hasil yang diperoleh adalah kemiskinan. Sebagai seorang mukmin, kita tidak boleh menjauhi sebab-sebab yang mendatangkan berbagai kebaikan dan kebahagiaan. Dengan kata lain, semua bentuk kebahagiaan dan kekayaan yang diberikan pada sebagian orang, sedangkan sebagian yang lain diberi kemiskinan dan penderitaan, maka semua itu telah ditakdirkan oleh Allah SWT.
Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya Allah SWT membagi akhlak diantara kalian, sebagaimana membagi rezeki bagi kalian. Sesungguhnya Allah SWT memberikan dunia bagi orang-orang yang dicintai oleh-Nya, maupun bagi yang tidak dicintai oleh-Nya. Akan tetapi, Allah SWT tidak memberikan agama kecuali bagi orang-orang yang dicintai-Nya. Dan siapa saja yang diberi agama oleh-Nya, maka ia termasuk orang yang dicintai oleh-Nya. ( HR. Imam Ahmad ).
Oleh sebab itu, kita tidak boleh memandang kekayaan sebagai kebaikan semata. Pemberian itu ( harta, anak dan lainnya ) kepada sebagian orang sebagai ujian bagi mereka. Ada kalanya tidak memberikannya pada sebagian yang lain, juga sebagai ujian. Bagi keduanya ( yang diberi dan yang tidak diberi ) tetap tersedia kebaikan jika mereka memahaminya. Jika engkau orang baik dan menyalurkan pemberian-Nya kepada segala macam tujuan kebaikan, maka karunia-Nya tersebut menjadikan kebaikan bagi dirimu.
Ada orang yang hidupnya serba kekurangan, namun do’anya yang selalu mengalir dan dikabulkan oleh Allah SWT. Seperti yang disebutkan dalam hadis riwayat Tirmidzi, “Berapa banyak orang yang hidupnya serba kekurangan, akan tetapi jika ia berdo’a, maka do’anya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Di antara mereka itu adalah al-Barra bin Malik.”
Al-Barra bin Malik adalah saudara sebapak dengan Anas bin Malik ra. Ia termasuk orang yang tidak mampu membeli makanan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Ia hidup sangat sederhana. Ternyata al-Barra mendapat kedudukan yang tinggi di sisi-Nya.
Oleh sebab itu, kekayaan dan kemiskinan bukan satu-satunya cobaan, semua itu hendaknya disesuaikan dengan situasinya. Ada kalanya kekayaan dan kemiskinan merupakan salah satu karunia-Nya. Ingatlah bahwa Rasulullah SAW. memilih hidup dalam kemiskinan dengan kehendaknya sendiri. Sejatinya anugerah yang diberikan Allah SWT. hendaknya di gunakan pada jalan-Nya.
Ketiga, Kondisi setelah selesai dengan urusan rezeki. Maka tahulah bahwa tiadalah perlu ikut campur dalam berpikir dan mengatur rencana dan pilihan dalam menghasilkan rezeki. Rezeki akan datang dengan caranya yang dikehendaki Yang Kuasa bukan yang engkau harapkan. Menjalankan perintah-Nya untuk berbagi manfaat dan pasrahkan pada-Nya.
Ya Allah, jagalah hati kami agar tidak ikut merencanakan dan penggapaian rezeki, karena hal itu sudah menjadi ketetapan-Mu. Dan jagalah hati kami untuk tidak menjadi pemalas, tetap bersemangat menjalankan perintah-Mu.
Penulis Aunur Rofiq
Artikel ini telah terbit di detikhikmah dengan judul “Hati dan Rezeki”.