Gurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle, dari Sengkang ke Mangkoso
Anregurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle merupakan murid dari Anregurutta K. H. M. As`ad. Beliau merupakan murid yang cerdas. Maka Ketika MAI didirikan, beliau ditugaskan untuk memimpin madrasah tersebut.
Popularitas MAI Sengkang dengan cepat menarik perhatian masyarakat, salah satunya Kepala Swapraja Soppeng Riaja yaitu H. M. Yusuf Andi Dagong, berkedudukan di Mangkoso, yang mengupayakan agar di tempatnya didirikan lembaga yang sama dengan MAI Sengkang, kemudian meminta Anregurutta K.H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk pindah ke Mangkoso.
Kerajaan Soppeng Riaja dan Kelahiran MAI
Anregurutta K. H. Abdurrahman Ambo Dalle hijrah dari Sengkang ke Mangkoso pada 21 Desember 1938. Sesampainya di sana, beliau langsung memulai pengajian dengan sistem Halakah (mengaji tudang). Setelah pengajian berlangsung selama 20 hari, beliau membuka madrasah dengan beberapa tingkatan. Nama yang diberikan adalah MAI Mangkoso. Namun, MAI Mangkoso tidak ada hubungan organisasi dengan MAI Sengkang.
MAI dan Masa Penjajahan
Dalam masa penjajahan Belanda, kegiatan MAI Mangkoso tidak pernah mengalami tekanan dari pemerintah karena pemerintah Kerajaan Soppeng Riaja adalah bagian dari struktur pemerintahan Belanda. MAI berada dalam perlindungan Arung Soppeng Riaja. Akan tetapi, pada masa penjajahan Jepang, pemerintah jepang melarang untuk berkumpul-kumpul.
Anregurutta berinisiatif memindahkan pembelajaran ke masjid dan rumah-rumah guru. Kaca pintu dan jendela masjid dicat hitam. Setiap kelas dibagi dan diserahkan kepada guru, mengambil tempat yang aman. Bahkan dalam suasana seperti itu, MAI Mangkoso membuka satu tingkatan lagi.
MAI dalam Masa Westerling
Setelah Indonesia Merdeka, Belanda berusaha mengembalikan kekuasaan kolonialnya dan melakukan tindakan kekerasan. Rakyat Sulawesi Selatan pun melakukan perlawanan. Pasukan westerling meningkatkan aksi kekerasan untuk menghadapinya, maka terjadilah pembunuhan di berbagai daerah yang dikenal dengan Peristiwa Korban 40.000 jiwa. Banyak guru dan santri yang menjadi korban. Namun, situasi itu tidak menyurutkan semangat Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle untuk terus mengembangkan MAI.
DDI dan Musyawarah Alim Ulama Se-Sulawesi Selatan
Pada 5 Februari – 7 Februari 1947, para ulama dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan melakukan musyawarah, dan terbentuklah organisasi DDI yang bergerak di bidang Pendidikan, Dakwah, dan Sosial Kemasyarakatan. Setelah itu, MAI Mangkoso dan seluruh cabangnya berintegrasi ke dalam DDI Bersama Lembaga Pendidikan lainnya.
DDI dalam Masa Pemberontakan DI/TII
Pasukan DI/TII melakukan penculikan terhadap ulama, agar memperkuat posisi majelis ulama yang mereka bentuk. Anregurutta H. Abdurrahman Ambo Dalle diculik sewaktu dalam perjalanan di daerah Belangbelang-Maros. Keberadaan Anregurutta dalam kekuasaan DI/TII membuat banyak madrasah DDI vakum, apalagi banyak guru yang menjadi korban. Meski demikian, secara organisasi DDI tetap berjalan degan tampilnya AG. H. M. Abduh Pabbajah sebagai ketua pengganti. Kondisi ini terus berlangsung hampir delapan tahun sampai Anregurutta berhasil bebas pada 1963.
Pola Penyebaran DDI
Pola penyebaran DDI ke berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai ke Malaysia sangat terkait dengan migrasi orang Bugis ke daerah tersebut. Orang Bugis memiliki jiwa perantau.
Saat di rantauan, biasanya mereka mengirimkan anaknya ke Sulawesi Selatan untuk belajar agama. Setelah itu Kembali ke perantauan untuk mengajar bahkan membuka madrasah atau pesantren.
Itulah sebabnya DDI pada umumnya berkembang di daerah yang banyak terkonsentrasi orang bugis, seperti Samarinda dan Balikpapan di Kalimantan. Riau dan Jambi di Sumatra. Palu dan Toli-Toli di Sulawesi Tengah, dan lain sebagainya. Namun itu bukan berarti bahwa DDI hanya bisa dikembangkan oleh orang Bugis. Misalnya di Flores dan Lalonggosmeeto Sulawesi Tenggara, DDI dibangun dan dikembangkan oleh penduduk asli.
Penulis, Muhammad Shafiq, Muhammad Abrar, Nur Ainun Khaerani, Nirwanda Sari