Edarinfo.com– Sebagaimana dipahami bersama bahwa Islam masuk pada abad ke 7 Masehi. Menurut Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), beliau menyebutkan bahwa kaum muslim masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di Sumatra dalam perjalannya ke Tionghoa.

Lebih lanjut T.W. Arnold dalam buku The Preaching of Islam: A History of The Propagation of the Moslem Faith menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada 1 Hijriah (abad 7 M).

Adapun tentang bagaimana ajaran Islam disebar luaskan , ahli sejarah pada umumnya sepakat bahwa Islam masuk ke bumi Nusantara melalui jalur perdagangan dan dakwah dengan cara damai yakni serta berbaur dengan masyarakat lokal, bukan dengan kekerasan maupun konfrontasi.

Lantas, bagaimanakah sikap umat Islam terhadap keberadaan penjajah pada saat itu ?

Dalam sejarah penjajahan di Indonesia, terdapat bangsa yang terlibat yaitu ; Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Terapi, dari semua bangsa tersebut, Belandalah yang paling lama menjajah Indonesia.

Di zaman penjajahan Belanda ,wilayah wilayah kekuasaannya sering mendapatkan perlawanan dari kerajaan kerajaan yang bercorak Islam, bahkan ummat islam di masa tersebut menyebut pemerintahan Belanda sebagai pemerintah dan cinta tanah air adalah sebagian dari iman ” Hubbul Wathon Minal Iman”.

Relasi kuat antara nasionalisme ( cinta tanah air) dengan spirit keimanan kepada Allah SWT yakni Tauhid yang berarti meniadakan segala bentuk ketundukan kepada makhluk ( penjajah) kecuali hanya kepada Allah SWT dibuktikan melalui perlawanan seperti perang Paderi (1821-1827),perang Diponegoro (1825-1830), dan perang Aceh (1873-1903).

Dengan demikian, terminologi kafir terhadap pemerintah digunakan oleh ummat Islam terdahulu dalam konteks Indonesia adalah bentuk perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, penindasan, dan perampasan hak hak manusia yang bertentangan dengan nilai nilai ketauhidan. Itulah alasannya Allamah Thabatthabai dalam bukunya inilah Islam menyebutkan bahwa turunan dari Tauhid adalah kemansiaan.

Dalam hal ini, Manusia adalah sama sama hamba dihadapan Tuhan sehingga tidak ada jalan manusia memperhambakan ( menindas, menjajah ) sesama manusia lainnya.

Atas dasar ini pulalah bangsa Indonesia hingga kini terus mengecam segala bentuk penjajahan diatas muka bumi, khususnya di bumi Palestina.

Miris hari ini, terminologi “Kafir” oleh sebagian ummat Islam lebih sering lontarkan sebagai penghukuman terhadap sesama pemeluk agama Islam yang beda aliran.

Sikap Penjajah Terhadap Pendidikan Islam

Pesantren sebagaimana kita ketahui adalah pusat pendidikan Islam tradisional. Para Kyai dan santri santri mengambil sikap anti Belanda menyebut bahkan menyebut mereka sebagai pemerintah kafir. Lebih jauh mereka bahkan berpegangan pada prinsip bahwa uang yang diterima seseorang Sebagai gaji dari pemerintah Hindia Belanda dianggap sebagai uang haram. Celana hingga dasi pun dianggap haram karena di nilai sebagai pakaian identitas Belanda ( pemerintah kafir).

Jadi, tak heran jika sekarang ini muncul seruan dari ulama ulama Indonesia untuk melakukan boikot terhadap produk Israel hingga mengeluarkan fatwa haram mengkonsumsinya mengingat pemerintah Israel dewasa ini terus menjajah bumi Palestina.

Seiring dengan maraknya narasi narasi dan sikap perlawanan terhadap penjajah dari pondok pesantren , sehingga pemerintah Belanda semakin mencampuri agama Islam, terutama dalam bidang pendidikan.

Pada tahun 1682 pemerintah Belanda mengeluarkan suatu kebijakan pengawasan terhadap aktifitas pondok pesantren yang justru lebih menjurus kepada pembahasan aktifitas kegiatan pendidikan Islam.

Di tahun tahun kemudian yakni 1833 pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan Wil School Ordonantis yang menutup madrasah yang tidak memiliki izin operasional dari mereka.

Sebelum kebijakan tersebut muncul, pemerintah Belanda mengeluarkan semboyan politik etis yang dikenal Ethic Politic pada tahun 1820 namun diberlakukan pada tahun 1907 yakni suatu peraturan tentang perluasan pendidikan ke pedesaan yakni sekolah rakyat bagi seluruh masyarakat Indonesia termasuk Islam ( sekarang kita sebut sebagai sekolah umum).

Kebijakan tersebut nampaknya menunjukkan kepedulian pemerintah Belanda terhadap pendidikan Indonesia,namun dibalik itu adalah sebuah strategi untuk menjaga kepentingan kepentingan nya di Indonesia serta antisipasi terhadap perlawanan perlawanan yang lebih alot.

Jadi, sekolah rakyat dibuka dan diberi fasiliras memadai untuk masyarakat karena sistemnya diatur oleh pemerintah Belanda sehingga arah pendidikan dalam kontrol mereka, pada sisi lain pendidikan pondok pesantren hanya boleh beroperasi jika mendapatkan izin dari pemerintah Belanda. Dan izin hanya diperoleh jika pihak pondok pesantren mengikuti sistem pendidikan yang dikehendaki oleh pemerintah Belanda.

Itulah politik pendidikan sistem belah bambu, satu diangkat dan satu diinjak, yang menyebabkan terjadinya dualisme pendidikan di Indonesia pada saat itu yakni pendidikan pesantren yang anti Belanda dengan pendidikan umum yang pro Belanda.

Sebagai kesimpulan, jelaslah bahwa santri sejatinya bukanlah mereka yang semata belajar kitab kuning dan Alquran di pondok pesantren tetap mereka juga adalah seorang pelajar yang memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat maupun bangsanya.

Penulis, Nur Aulia Adnan, Nur Azizah SN, Aswar A, Yuli Asrianti