Edarinfo.com– Menjelang malam puncak perayaan HUT kemerdekaan Bangsa Indonesia ke-50, yang diadakan di ruang aula Balai Desa berjalan dengan meriah. Semua orang yang hadir sangat antusias dalam memeriahkan acara spektakuler ini. Salah satunya, seorang putra berusia lima tahun yang tengah menunjukan betapa semangatnya membara untuk mengikuti perlombaan drama yang akan diikutinya kepada seluruh semesta. Karismanya penuh ambisi, membara, berkobar menyala-nyala bak semangat pejuang pendahulu kita. Dengan sangat elok peragaan yang dimainkannya. Bahkan dengan pakaiannya yang super rapi laksana Anggota Dewan sungguhan membuatnya semakin yakin bahwa penampilannya juga tak akan mengecewakan siapa pun, termasuk Ayah serta kedua Kang Mas nya.
Senyumnya sangat berkarisma dan bagus, tampak lebih dewasa dibandingkan anak seumurannya. Namun bentuk wajahnya yang imut tidak akan dapat menipu pandangan siapa pun termasuk dewan juri di hadapannya. Pada awalnya, ia tak dapat izin mengikuti perlombaan itu dengan suatu alasan, tak lain bahwa usianya masih belum mencukupi. Akan tetapi berkat seorang kakak tertuanya selaku salah satu juri dan juga adegan dramatisnya hingga merengek, ia pun akhirnya dapat mengikuti. Bahkan dengan percaya diri mengutarakan janji bahwa dirinya dapat menunjukan yang terbaik versinya.
“Demi kemajuan negara tercinta ini, saya akan memastikan bahwa usulan perubahan Undang-Undang Pemilu dapat lolos di parlemen. Apa pun yang terjadi,” ucapnya lantang.
Namun sesuatu membuatnya terdiam sejenak. Hanya untuk memastikan apakah keluarganya menyaksikan atau tidak. Dengan cepat mencari dan akhirnya menemukan Ayah dan John tengah berdiri di pojokan belakang aula. Bahkan di saat yang bersamaan, tak lupa senyumannya selalu merekah hingga membuat semesta yang menyaksikannya sejak tadi tak henti-henti tersenyum tersipu malu.
“Adik tampan. Jadilah adik angkat ku saja.”
“William Oh my God. Dia manis sekali.”
“William! William!”
Masih banyak lagi teriakan-teriakan bergemuruh dari penggemar William kecil nang menggemaskan. Ditambah dengan gigi susunya yang baru sehari yang lalu copot. Membuatnya tampak ompong ketika tersenyum memperlihatkan deretan giginya.
Mendengar banyak orang mendukung penampilannya malam ini membuat ia semakin bersemangat, dan melanjutkan kembali dialognya yang tadi sempat tertunda, “Demi kesetaraan rakyat agar mendapatkan peran dalam pemilu tahun depan, saya bersumpah untuk mewujudkannya. Tunggu saja.”
“Merdeka! Merdeka! Merdeka!” sahut penonton tepat saat tirai panggung tertutup dan William telah merampungkan dialognya hingga tuntas dengan sangat sempurna.
Saat di belakang tirai, bocah kecil kurus itu memejamkan matanya rapat-rapat, kedua tangannya terkepal erat, bibir mungilnya komat-kamit seperti tengah berdoa mengharapkan sesuatu. Namun tiba-tiba ada sebuah tangan menepuk bahu kirinya. Sontak ia menoleh dan terkejut dengan apa yang ia lihatnya saat ini. Seseorang berdiri di hadapannya dengan mata sendu, lalu orang itu berjongkok untuk menyamai tingginya dengan william. Bocah itu sama sekali tidak takut atau pun menghindari orang asing yang ia temui.
Pria tinggi dengan penampilan amat tidak karuan, jauh dari penampilan dirinya saat berusia lima tahun. Kini ia hanya menggunakan kaos oblong putih yang warnanya beralih cokelat seperti baru saja terkena cipratan kubangan air di jalan saat menuju kemari. Namun cuaca di luar tidak mendung dan juga tidak ada tanda-tanda hujan turun.
Kendati penampilan serta pakaiannya yang begitu berantakan, ia tetaplah seorang William dengan paras rupawan. Seperti wajahnya ketika masih kecil. Hanya saja kini hidupnya menjadi jauh lebih sengsara. Tidak berkawan dekat, tiada saudara yang bersedia menampungnya untuk tinggal, atau pun kekasih idaman berparas cantik nan baik hatinya.
“Merdeka! Merdeka! Merdeka!” ucap pria jangkung kurus itu dengan berlinang air mata membasahi seluruh pipinya yang tidak lagi bersih nan halus. Kini kulit wajah itu menjadi kusam serta gosong yang mungkin saja berhari-hari berada di luar ruangan dengan terik mentari yang begitu menyengat.
“Selamat atas penampilanmu yang luar biasa malam ini, Nak,” ucapnya lagi.
Melihatnya begitu justru membuat William kecil membalasnya dengan senyuman terbaiknya. Mengangguk mantap dan membalas ucapannya, “Merdeka!”
Kedua tangannya yang sejak tadi masih terkepal erat kini beralih menggenggam erat kedua tangan William dewasa berusia tiga puluh tahun. Lalu tangannya yang mungil tiba-tiba saja merogoh kantung celana depan sebelah kanan, diberikannya sebuah permen lolipop favoritnya dengan rasa stroberi kepada William dewasa.
Saat tangannya menerima permen itu, lagi-lagi ia menangis haru dihadapan bocah kecil ingusan yang tidak tahu apa pun serta betapa beratnya hidup di dunia ini, termasuk tumbuh dewasa tidak semenyenangkan yang dipikirkannya.
Lantas ia pun bangkit dari jongkoknya dengan sebuah permen di genggamannya, itu sebuah cara untuk menunjukan pada William kecil bahwa dirinya tidak dapat lagi mengulur waktu lebih lama. Namun ia menyadari bahwa baru saja menemui dirinya di masa lalu yang telah lama dicari. Tak mungkin jika dengan cara payah begini lekas pergi dan kembali. Lagipula, sepertinya masih ada waktu sepuluh menit, tidak mungkin akan ia sisa-siakan lagi. Kesempatan kedua untuk melihat penampilan drama pertamanya di perlombaan dalam perayaan HUT RI ke-50.
Alih-alih tujuan utamanya, yang entah apa sebabnya, tiba-tiba saja terbayang dirinya saat usianya beranjak remaja.
Di mana saat itu, dirinya sangat terlihat menawan ketika mengangkat piala kemenangan dalam perlombaan membaca puisi. Banyak yang mendekat untuk berfoto bersama, hingga ada pula yang meminta hanya selfi berdua. Ucapan selamat tak henti-henti didengarnya seharian penuh, bahkan hingga satu minggu lamanya.
Lalu lain waktu, ketika ia kembali meraih kejuaraan yang kali ini dalam ajang cerdas cermat tingkat Nasional. Saat baru saja keluar dari ruang perlombaan, tiba-tiba dirinya terkejut karna kejutan dari teman-teman, para guru, serta sahabatnya. Dengan meriah mereka bernyanyi bersorak atas kemenangan William, sang multitalenta. Dan masih banyak lagi perlombaan yang diikutinya, hingga meraih banyak sekali piala, piagam, serta kartu ucapan dikumpulkannya dalam satu lemari kata.
Ia menghela napas setelah mengenang masa lalu yang penuh keberuntungan itu. Belum genap dirinya sadar, tiba-tiba William kecil mengguncangkan dirinya pelan. Jelas saja itu membuatnya terperanjat terkejut.
“Apa kau mengenalku?” kata William kecil.
Mendengar celotehan bocah itu membuatnya justru kebingungan. Bagaimana cara ia menjelaskan pada bocah polos ini? Ah, tak tahu, batinnya. Ia terpejam-membuka matanya. Ia pun menatap wajah anak kecil itu dengan tatapan dingin. Sudah tak lagi ada air mata seperti beberapa menit yang lalu.
“Dasar bocah payah. Rasanya tidak ada tak mengenal dirimu, Nak. Kau merupakan sosok anak kecil bergigi ompong dengan segudang multitalenta namun terkadang kurang beruntung saja,”
William kecil mengerti maksud kalimat yang diucapkan pria jangkung di hadapannya dan hanya mengangguk-angguk saja. Walaupun sedikit ada perasaan sebal karena seseorang yang datang tiba-tiba sudah berani mengejek dirinya. Sedangkan Ayah dan kedua kakaknya tak pernah melakukan itu, sekalipun saat berbuat kesalahan. Alih-alih sebal, sejak tadi pandangannya tak teralihkan pada wajah William dewasa yang ia sendiri merasa tidak asing pada tampangnya itu. Dengan santai ia berceloteh, “Kau sangat mirip dengan wajahku nan tampan ini, ya, Paman,”
Sontak ia tertawa renyah, William kecil bingung.“Ya, benar sekali,” ucap Will dewasa.
“Atau rupa-rupanya … ternyata Paman adalah diriku?”
Wajah Will dewasa mendadak serius. Terdiam sesaat dengan kedua tangan terlipat di dada.
“Begini ….” ia kembali berjongkok, mulai menatap lekat kedua pasang mata berwarna biru terang dengan sangat serius.
Ia pun bercerita, bagaimana kisah menyedihkan itu berawal. Di mana setelah Ayah serta kedua kakaknya mengalami kecelakaan pesawat saat akan menghadiri acara wisudanya. Pada saat itu, ia menjadi anak rantauan di kota orang demi merampungkan pendidikan tingkat sarjana Jurusan Hukum. Ketika mendengar kabar duka tersebut, ia merasa di dunia ini tak ada lagi keluarga atau seseorang yang menjadi penyemangat hidup. Sehingga membuatnya berlarut dalam kesedihan yang berujung pada awal kehidupannya yang sengsara. Gerbang neraka yang ia buka sendiri dengan tangannya.
Bahkan tidak peduli lagi dengan segala upaya yang telah dilaluinya serta ratusan penghargaan selama masa sekolah. Mimpinya yang dulu sangat didambakannya sirna begitu saja. Tak ada lagi makna ambisi dalam hatinya. Seperti telah mati rasa. Buta arah, tak tahu harus kemana dan berbuat apa. Juga kegagalan yang entah kesekian kali dalam mencari pekerjaan. Ijazah yang didapatnya dengan susah payah, mengorbankan dirinya hingga bermandi keringat serta air mata, tak ada satu pun perusahaan yang menerimanya. Skill terpendam yang ia miliki, yaitu dalam bidang grafis desainer pun tak berguna.
Sehingga, setelah beribu kali kegagalan diterimanya, ia tiba-tiba menerima tawaran pekerjaan yang berbahaya. Pekerjaan itu ia dapati dari mantan guru bela diri yang telah lama pensiun, kebetulan beliau pun pernah menjadi gurunya di kelas tujuh smp. Singkatnya, pekerjaan itu membuatnya jatuh dalam sel tahanan dengan hukuman terbesar. Hukuman mati.
“Begitulah ….”
“Jadi, tujuanku kemari hanya ingin sekali saja dan pertama kalinya untuk menemui diriku sendiri. Itu adalah dirimu, Nak,” lanjutnya. Namun sepertinya cerita yang ia utarakan itu berujung sia-sia.
Lihatlah wajah polos bocah ingusan itu. Bahkan dia hanya memandangiku tanpa satu kata pun, batinnya. Perlahan ia mendekati William kecil, yang lebih dekat lagi, lalu menepuk kedua bahunya sekali dan berkata,“Kau akan tahu kebenarannya suatu saat nanti, secepatnya … ketika waktunya tepat. Yang pasti … hidup sebagai orang dewasa tidaklah semenarik seperti yang kau bayangkan minggu lalu. Hingga kau merajuk pada Ayah untuk membawamu ke kantor dan menunjukan betapa hebatnya dunia orang dewasa.” William kecil tetap diam.
“Kali ini jangan membuatku tak ingin pergi hanya karena kasihan padamu. Sebab aku kemari hanya ingin berpamitan dengan diriku di masa lampau. Faktanya aku hanyalah seorang preman bayaran yang apesnya tertangkap dan akan segera di jera,” kata William dewasa.
“Jadi, kau perlu bersikap bijak. Semua penghargaan tidak akan menyelamatkanmu jika ambisimu tidak kau wujudkan. Yang ada hanya berujung kesia-siaan yang terlalu berharga. Setidaknya untuk diriku di masa lampau, yaitu dirimu,” lanjutnya.
Walau tak mengerti seutuhnya apa yang dikatakan pria itu, setidaknya ia mengerti satu kalimat. Ia hanya paham bahwa hidup ini terlalu berharga jika hanya untuk membuang-buang waktu dan tenaga. Jadi ia ingin berbuat baik serta terus bermimpi dan mewujudkannya agar hidup tetap memiliki makna dan bermanfaat. Setidaknya ia dapat mengubah keadaan dengan tangannya sendiri. Dan walaupun tidak semuanya, setidaknya, lagi, ia dapat mengubah adegan dan dialog panggung masa depan.
Usai pria itu berhenti berbicara, tiba-tiba namanya terpanggil sebagai pemenang ketiga di lomba drama. Sontak ia berbalik badan. Ternyata doanya sungguhan Tuhan dengar. Ia merasa sangat senang hingga melompat-lompat dan terus berkata, “Lihatlah, Paman. Aku berhasil jadi juara. Aku menang”
Namun sungguh terkejut ketika ia menoleh ke belakang lagi. Tak ada siapa pun di sana. Akan tetapi di bawah kakinya seperti terdapat secarik amplop. Ia ambil dan membolak-balikkan, melihat penampilan luar amplop berwarna merah muda. Ada gambar dua beruang di sana dan namanya di bagian bawah. ‘Untuk William Noel Latumahina’. Hampir semua tulisannya ditulis tangan menggunakan pena bertinta tidak terlalu tebal.
Secarik amplop berharga yang terlalu sayang jika dibuka. Akan tetapi ia tetap menyimpannya dengan baik hingga bertahun-tahun lamanya. Bahkan sudah ratusan kali dibacanya berulang-ulang tanpa merasa bosan ketika dibuka kembali amplop itu. Padahal isi surat itu hanya satu kalimat saja, yaitu : “Jangan biarkan pendapat orang lain menjadi kenyataanmu. Semangat lah.”
Setelah bertahun-tahun surat itu padaku, di usiaku ke dua puluh tahun baru mengerti maknanya dan siapa tokoh yang sebenarnya dibalik kalimat indah tersebut. Dan kini, kalimat inspiratif beliau menjadi sesuatu yang membuatku candu.